Wednesday, April 5, 2017


MAKALAH
USHUL FIQIH (Maslahah Mursalah)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqih.
Dosen : Dede Permana








Disusun oleh kelompok 7 :
M. Ifan Faizi
Latifah Hidayah
Marlina



FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI “SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN
2011-2012
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

            Puji dan syukur kehadirat illahi rabby penguas alam raya beserta isinya yang telah memberikan kami rahmat, hidayah, inayah dan  nikmatnya, berupa kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah “maslahah mursalah” solawat beriring salam semoga senantiasa tercurah atas nabi Muhammad SAW reformasi islam yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang benderang  ini.walaupun penyusunan makalh ini penuh hambatan dan rintangan akan tetapi puji syukur kami masih bisa menyelesaikannya meskipun masih dari kesempurnan  dan terdapat banyak kesalahan,akan tetapi dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menjadi acuan dimasa yang akan datang .
Akhirnya besar harapan kami seoga maklah ini dapat bernaanfaat dan dijadikan sebagai sesuatu yang berguna yaitu untuk menambah ilmu terutama tentang  macam-macam metode istinbath hokum,khususnya bagi penyusun dan umum nya bagi kita semua.



penyusun


DAFTAR ISI

Kata pengantar
Daftar isi
BAB I  PENDAHULUAN
BAB II Pembahasan
A.      Pengertian maslahah mursalah
B.      Syarat-syarat maslahah mursalah
C.      Macam-macam maslahah mursalah
D.     Kehujjahan maslahah mursalah
E.      Alasan ulama menjadikan hujjah

BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA


       

Bab I
Pendahuluan


Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan aturan-aturan
Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., meluasnya wilayah
kekuasaan Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan
banyaknya para sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi  tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad.
Hasil ijtihad para sahabat tersebut, jika tidak dibantah oleh sahabat Nabi yang
lainnya, maka dianggap ijma’ para sahabat. Sebaliknya, jika hasil ijtihad sahabat
Nabi tersebut dibantah oleh sahabat Nabi yang lain, maka hasil ijtihad sahabat Nabi tersebut tidak dapat dianggap sebagai ijma’ para sahabat, melainkan hanya pendapat.pribadi para sahabat Nabi tentang persoalan-persoalan (hukum) tertentu. Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu;
al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Seiring dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka
otoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya.Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalamal-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum diantaranya; maslahah-mursalah atau istislah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi),
Mayoritas ulama menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat.2 Sedangkan metode istinbath hokum yang lainnya, termasuk maslahah-mursalah atau istislah yang diperkenalkan oleh Imam Malik selalu diperdebatkan, bahkan ditolak oleh mayoritas penganut mazhab








                                             

Bab II Pembahasan
A.      Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut lugat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah.Perpaduan dua kata menjadi ``marsalah mursalah``yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Atau Maslahah bisa diartikan  sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan(kerusakan) sejalan dengan tujuan syara` dalam menetapkan hokum. Sedangkan mursalah adalah “terlepas”. Bisa ditarik kesimpulan bahwa arti keduanya adalah pembinaan (penetapan) hukum berdasarkan maslahah (kebaikan, kepentingan) yang tidak ada penentuannya dari syara’ baik ketentuan secara umum atau secara khusus.Jadi, termasuk adalah yang dapat mendatangkan kegunaan (manfaat) dan dapat menjauhkan keburukan (kerugian), serta hendak diwujudkan oleh kedatangan syariat Islam, serta diperintahkan nash-nash syara’ untuk semua lapangan hidup. Akan tetapi, stara’ tidak menentukan satu persatunya maslahah tersebut maupun macam keseluruhannya. Oleh karena itu, maslahah dinamai mursal artinya terlepas dengan tidak terbatas.
Akan tetapi, jika suatu maslahah telah ada ketentuannya dari syara’ yang menunjuk kepadanya secara khusus, seperti penulisan Al-Qur’an karena dikhawatirkan akan tersia-sia, atau seperti memberantas buta huruf (mengajarkan menulis dan membaca), atau ada nash umum yang menunjukkan macamnya maslahah yang harus dipertimbangkan seperti wajibnya mencari dan menyiarkan ilmu pengetahuan pada umumnya atau seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, maslahah penetapan hukumnya didasarkan atau nash, bukan didasarkan atas aturan maslahah mursalah.[1]
 B. Syarat-syara tmaslahah mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah daam pembentukkan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya.
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut :
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukumitu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
Maka maslahah-maslahahyang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih malsalah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.
4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.
5. Al Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
6. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
7. kemaslahatan itu bersifat umum.
8. pelaksanaan tidak menimbulkan kesulitan yan tidak wajar.
Dengan adanya cara berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilangan indentitasnya sebagai hukum islam.


C. MACAM-MACAM MASLAHAH
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian, yaitu:
1. Maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.
Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Di antara syri`at yang diwajibkan untuk memelihara agama adalah kewajiban jihad (berperang membela agama) untuk mempertahankan akidah Islmiyah. Begitu juga menghancurkan orang-orang yang suka memfitnah kaum muslimin dari agamanya. Begitu juga menyiksa orang yang keluar dari agama Islam.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara jiwa adalah kewajiban untuk berusaha memperoleh makanan, minuman, dan pakaian untuk mempertahankan hidupnya. Begitu juga kewajiban mengqshas atau mendiat orang yang berbuat pidana.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara akal adalah kewajiban untuk meninggalkan minum khamar dan segala sesuatu yang memabukkan. Begitu juga menyiksa orang yan meminumnya.
Di antara syari`at yang diwajibkan untuk memelihara keturunan adalah kewajiban untuk menghidarkan diri dari berbuat zina. Begitu juga hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki atau perempuan.
2. Maslahah Hajjiah
``Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan``
Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlakudalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat.
Dalam hal ibadah misalnya, qashar shalat, berbuka puasa bagi yang musafir. Dalam adat dibolehkan berburu, memakan, dan memakai yag bak-baikbdan yang indah-indah. Dalam hal muamalat, dibolehkan jual-beli secara salam, dibolehkan talak untuk menghindarkan kemaslahatan dari suami-istri. Dalam hal uqubat/jinayat, menolak hudud lantaran adalah kesamaan-kesamaan pada perkara.
Termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasandan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
3. Maslahah tahsiniyah
``Maslahah tasiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak``.
Tahsiniyah juga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubat. Lapangan ibadah misalnya, kewajiban bersuci dari najis, enutup aurat,memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain.
Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Imam Abu Zahrah, menambahkan bahwa termasuk lapangan tahsiniyah, yaitu melarang wanita-wanita muslimat keluar kejalan-jalan umum memakai pakaian-pakaian yang seronok atau perhiasan yang mencolok mata. Sebab hal ini bisa menimbulkan fitnah di kalangan masyarakat banyak yang pada gilirannya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga dan terutama oleh agama. Selanjutnya dikatakan bahwa adanya larangan tersebut bagi wanita sebenarnya merupakan kemuliaan baginya untuk menjaga kehormatan dirinya agar tetap bisa menjadi wanita-wanita yang baik menjadi kebanggaan.

D. KEHUJJAHAN MASLAHAH MURSALAH
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
a. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir .
b. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehiggga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya.
c. Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``.
Diantara ulama yang paling banyak melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.

E. ALASAN ULAMA MENJADIKANNYA SEBAGAI HUJJAH
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah hujjah syara’ yang dipakai sebagai landasan penetapan hukum. Karma kejadian tersebut tidak hukumnya dalam nash, hadist, ijma’ dan qiyas. Maka dengan ini maslahah mursalah ditetapkan sebagai hukum yang dituntut untuk kemaslahatan umum. Alasan mereka dalam hal ini antara lain :
1. kemaslahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya, maka jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan manusia yang baru dan sesuai dengan perkembangan mereka, maka banyak kemaslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada. Jadi tujuan penetapan hukum ini antara lain menerapkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan zamannya.
2. Orang yang mau meneliti dan menetapkan hukum yang dilakukan para sahabat nabi, tabi’in, imam-imam mujtahid akan jelas, bahwa banyak sekali hokum yang mereka tetapkan demi kemaslahatan umum, bukan karena adanya saksi yang dianggap oleh syar’i.
Seperti yang dilakukan oleh abu bakar dalam mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu tulisan al-qur’an, dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, lalu mengangkat umar bin khattab sebagai gantinya. Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri dimasa krisis pangan. Semua bentuk kemaslahatn tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum, karna tidak ada dalil syara’ yang menolaknya













KESIMPULAN

maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam bukan  berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan tertentu, tidak asal maslahat. Islam memang telah lengkap dan sempurna tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna tersebut adalah pokokpokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunakan metode maslahah-mursalah dalam menetapkan hukum Islam, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan hukum Islam dapat dibuktikan. Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu,minimalnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’,harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah.

DAFTAR PUSTAKA
-Syarifudin, Amir, Haji usul fiqih,. Cetakan 1 jakarta:1999
- Uman, Chaerul, Dkk, Ushul Fiqh I, CV. Pustaka Setia: Bandung, 2000.
- Wahab khallaf, Syeikh Abdul, Ilmu Fiqih, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005).
- Burhanuddin, Fiqh Ibadah, (Bandung, Pustaka Setia, 2001).
-Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum
Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005




[1] Burhanuddin, Fiqh Ibadah, CV. Pustaka Setia: Bandung, 2001. hlm 154

No comments:

Post a Comment

Mangga bisi nu arek masihan komentar mah :)