Monday, June 18, 2012

Etika Bisnis Yang Mendasari Dalam Bidang Sirkulasi


BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi. Didalam bisnis pun dikenal istilah etika bisnis. Etika bisnis disebut juga dengan moral bisnis yang memberikan sandaran dan motivasi bisnis dari aspek penilaian baik dan buruk atau ide-ide tentang kebijakan, penghormatan, keadilan dan lain-lain. Tetapi moralitas bisnis saja belum cukup untuk dapat menjalankan suatu usaha bisnis. Bisnis selalu berkaitan dengan relasi antar individu dan kontrak/ kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini tentu saja harus ada hukum yang disepakati bersama dalam berbisnis. Karena itu hukum bisnis merupakan syarat utama agar bisnis dapat berjalan lancar. Setiap perkara yang berkaitan dengan dengan bisnis akan diselesaikan dengan hukum bisnis yang berlaku.









Serang, 26 April 2012





(Penulis)

BAB II
Pembahasan


A.    Etika Bisnis Yang Mendasari Dalam Bidang Sirkulasi
Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi. Didalam bisnis pun dikenal istilah etika bisnis. Etika bisnis disebut juga dengan moral bisnis yang memberikan sandaran dan motivasi bisnis dari aspek penilaian baik dan buruk atau ide-ide tentang kebijakan, penghormatan, keadilan dan lain-lain. Tetapi moralitas bisnis saja belum cukup untuk dapat menjalankan suatu usaha bisnis. Bisnis selalu berkaitan dengan relasi antar individu dan kontrak/ kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal ini tentu saja harus ada hukum yang disepakati bersama dalam berbisnis. Karena itu hukum bisnis merupakan syarat utama agar bisnis dapat berjalan lancer. Setiap perkara yang berkaitan dengan dengan bisnis akan diselesaikan dengan hukum bisnis yang berlaku.
Adapun pengertian atau hakikat bisnis adalah kemampuan mengelola perputaran uang[1]. Bisnis merupakan bentuk lahan usaha dari wirausaha. Bisnis tersebut dapat bergerak diberbagai bidang seperti jasa, produsen atau pemasaran. Tetapi inti dari bisnis itu adalah memutar uang yang ada (modal) melalui suatu lahan usaha tertentu sehingga menghasilkan keuntungan . Bisnis atau kewirausahaan dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk dapat menciptakan pekerjaan berdasarkan sumber daya yang ada[2]. Jadi dilihat dari definisi tentang hakikat bisnis dan pengertian kewirausahaan,
dapat disimpulkan bahwa wirausaha itu berbeda dengan pekerja/karyawan. Pekerja melakukan kegiatannya dengan tugas-tugas yang telah ditetapkan, dan dengan kontribusi tenaga dan keahliannya, ia mendapatkan gaji atau honor secara periodik. Pekerja tidak memperhitungkan resiko kegagalan dan kebangkrutan dari perusahannya. Sedangkan wirausaha lebih menekankan pada tugas-tugasnya dalam mengelola modal dan sumber daya yang ada agar mendapatkan keuntungan. Dalam berwirausaha inilah resiko kegagalan atau kebangkrutan mungkin harus diperhitungkan selain kemungkinan keuntungan yang diperoleh. Kewirausahaan juga memperhitungkan pengembangan usaha lebih lanjut, tantangan pasar dan persaingan serta kesempatan-kesempatan . Dengan tugas wirausaha yang multi dimensi inilah maka kemampuan yang seharusnya dimiliki wirausaha bukan hanya pengetahuan tetapi juga pengalaman, kreatifitas dan kepekaan dalam berbisnis. Untuk itu pembentukan mentalitas wirausaha merupakan langkah awal dalam melangkah kedunia bisnis.

B.     Etika Dan Hukum Bisnis Islam Dalam Perilaku Wirausaha
Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan dan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.
Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara lain:
1. Shidiq (Jujur)
Seorang pedagang wajib berlaku jujur dalam melakukan usaha jual beli. Jujur dalam arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mcngada-ngada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang jelas-jelas berdosa, –jika biasa dilakukan dalam berdagang– juga akan mewarnal dan berpengaruh negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pedagang itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
2. Amanah (Tanggungjawab)
Setiap pedagang harus bertanggung jawab atas usaha dan pekerjaan dan atau jabatan sebagai pedagang yang telah dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
Sudah kita singgung sebelumnya bahwa –dalam pandangan Islam– setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Berdagang, berniaga dan ataujual beli juga merupakan suatu pekerjaan mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup dan kehidupannya.
Dengan demikian, kewajiban dan tanggungjawab para pedagang antara lain: menyediakan barang dan atau jasa kebutuhan masyarakat dengan harga yang wajar, jumlah yang cukup serta kegunaan dan manfaat yang memadai. Dan oleh sebab itu, tindakan yang sangat dilarang oleh Islam –sehubungan dengan adanya tugas, kewajiban dan tanggung jawab dan para pedagang tersebut– adalah menimbun barang dagangan.
3. Tidak Menipu
Dalam suatu hadits dinyatakan, seburuk-buruk tempat adalah pasar. Hal ii lantaran pasar atau termpat di mana orang jual beli itu dianggap sebagal sebuah tempat yang di dalamnya penuh dengan penipuan, sumpah palsu, janji palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburk-buruk tempat adalah pasar”. (HR. Thabrani)
“Siapa saja menipu, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR. Bukhari)
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus
dengan nama Allah. Dan jika sudah dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya sangatlah fatal.
Oleh sehab itu, Rasulululah SAW selalu memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar barang dagangannya laris terjual, lantaran jika seorang pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah kerugian.
4. Menepati Janji
Seorang pedagang juga dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya kepada Allah SWT.
Janji yang harus ditepati oleh para pedagang kepada para pembeli misalnya; tepat waktu pengiriman, menyerahkan barang yang kwalitasnya, kwantitasnya, warna, ukuran dan atau spesifikasinya sesuai dengan perjanjian semula, memberi layanan puma jual, garansi dan lain sebagainya. Sedangkan janji yang harus ditepati kepada sesama para pedagang misalnya; pembayaran dengan jumlah dan waktu yang tepat.
5. Murah Hati
Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab.

6. Tidak Melupakan Akhirat
Jual beli adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang keuntungan dunia. Maka para pedagang Muslim sekali-kali tidak boleh terlalu menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu shalat.
C.     Konsep Jual Beli Dalam Islam

Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.
Keuntungan bagi seorang produsen biasannya adalah laba (profit), yang diperoleh setelah dikurangi oleh faktor-faktor produksi. Sedangkan berkah berwujud segala hal yang memberikan kebaikan dan manfaat bagi rodusen sendiri dan manusia secara keseluruhan.
Keberkahan ini dapat dicapai jika produsen menerapkan prinsip dan nilai islam dalam kegiatan produksinnya. Dalam upaya mencari berkah dalam jangka pendek akan menurunkan keuntungan (karena adannya biaya berkah), tetapi dalam jangka panjang kemungkinan justru akan meningkatkan keuntungan, kerena meningkatnya permintaan.[3]

Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi. Abdurrahman bin Auf adalah salah satu contoh sahabat nabi yang lahir sebagai seorang mukmin yang tangguh berkat hasil pendidikan di pasar. Beliau menjadi salah satu orang kaya yang amanah dan juga memiliki kepribadian ihsan.

            Konsep jual beli dalam Islam diharapkan menjadi cikal bakal dari sebuah sistem pasar yang tepat dan sesuai dengan alam bisnis. Sistem pasar yang tepat akan menciptakan sistem perekonomian yang tepat pula. Maka, jika kita ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang tepat, kita harus membangun suatu sistem jual beli yang sesuai dengan kaidah syariah Islam yang dapat melahirkan khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi ini. Hal tersebut dapat tercipta dengan adanya kerjasama antara seluruh elemen yang ada di pasar, yang disertai dengan kerja keras, kejujuran dan mampu melihat peluang yang tepat dalam membangun bisnis yang dapat berkembang dengan pesat.

D.    Asas Teori Perdagangan Islam
Asas perdagangan Islam adalah Islam itu sendiri, yang meliputi tiga aspek pokok yaitu aqidah, akhlaq dan hukum (yang dalam fiqih Islam yaitu pembahasan mu'amalah). Asas aqidah merupakan dasar yang tidak dapat dihindari dalam teori ekonomi Islam yang cabangnya termasuk perdagangan. Pengerian aqidah adalah ketetapan (pegangan) yang tidak diragukan oleh penganutnya, lebih tegasnya adalah kepercayaan yang tidak dicampuri keraguan apapun oleh penganutnya. Allah berfirman (artinya) : Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi(QS. Al-Baqarah 2 : 284). Sementara pada ayat yang lain menyebutkan bahwa manusia adalah pemilik harta, sebagaimana firmanNya (artinya) : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kamu dengan cara yang bathil (QS Al-Nisa' 4 : 29). Dari dua firman diatas dapat difahami bahwa pemilik sesungguhnya dari apa saja yang di langit dan di bumi serta isinya adalah Allah, sementara kata "kamu" dengan yang dimaksud manusia, menujukkan bahwa peran manusia dalam pemanfaatan hara hanyalah sebagai khalifah (wakil)Nya. Sehingga aqidah sebagai asas perdagangan mempunyai pengertian meyakini bahwa manusia adalah wakil Allah di bumi (khalifah Allah fi al-ardhi), kemudian keyakinan itu dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan tugas-tugas kehkalifahan sesuai dengan aturan (syari'at)Nya. Selanjutnya asas akhlaq (etika) menjadi pendukung dan pengatur motivasi serta tujuan yang tidak dijangkau oleh hukum, sehingga tata hubungan antar manusia dalan urusan mu'amalat tetap terjaga dengan baik. Adapun asas hukum menjadi ketentuan tingkah laku lahiriah aktivitas bermu'amalat.

E.     Karakteristik Perdagangan Islam

Perdagangan sebagai salah satu sarana kegiatan ekonomi yang secara tegas sah (halal) menurut Islam, maka ia mempunyai beberapa karakteristik, antara lain :

1.      Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Khalifah Harta.
2.      Terikat dengan Aqidah, Syari'ah (Hukum) dan Akhlaq (Moral).
3.      Seimbang antara Keruhanian dan Kebendaan.
4.      Adil dan Seimbang dalam Melindungi Kepentingan Ekonomi Individu dan Masyarakat.
5.      Tawassuth dalam Memanfaatkan Kekayaan.
6.      Kelestarian Sumber Daya Alam.
7.      Kerja (Tidak Menunggu).
8.      Zakat.
9.      Larangan Riba.[4]



















BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan

Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi. Didalam bisnis pun dikenal istilah etika bisnis. Etika bisnis disebut juga dengan moral bisnis yang memberikan sandaran dan motivasi bisnis dari aspek penilaian baik dan buruk atau ide-ide tentang kebijakan.
Aturan main perdagangan Islam, menjelaskan berbagai etika yang harus dilakukan oleh para pedagang Muslim dalam melaksanakan jual beli. Dan diharapkan dengan menggunakan dan mematuhi etika perdagangan Islam tersebut, suatu usaha perdagangan dan seorang Muslim akan maju dan berkembang pesat lantaran selalu mendapat berkah Allah SWT di dunia dan di akhirat. Etika perdagangan Islam menjamin, baik pedagang maupun pembeli, masing-masing akan saling mendapat keuntungan.





















Daftar Pustaka


§  Ahmad Asyhar Shafwan Perdagangan Dalam Perspektif Theologi, Etika & Hukum Islam. November 2010



§  Tyas U. Soekarsono , Are You An Entrepreneur dalam Are You An Entrepreneur? (Bekasi: Pustaka Inti, 2005), hal. 4


[2] Tyas U. Soekarsono , Are You An Entrepreneur dalam Are You An Entrepreneur? (Bekasi: Pustaka Inti, 2005), hal. 4
[4]Ahmad Asyhar Shafwan Perdagangan Dalam Perspektif Theologi, Etika & Hukum Islam. November 2010

No comments:

Post a Comment

Mangga bisi nu arek masihan komentar mah :)